Powered By Blogger

Rabu, 18 Mei 2011

Demokrasi berdasarkan wewenang dan hubungan antara alat kelengkapan negara

PENDAHULUAN
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
ISI PEMBAHASAN
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme 
sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.
“Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time.”
Winston Churchill (Hansard, November 11, 1947).

 dikutip dari buku: Judul         :    Polri, Politik, dan Korupsi   
                                Penulis     :    Muradi
                               Terbit        :    Juli 2010
                                Penerbit   :     PSKN UNPAD

Pada dasarnya, di banyak negara institusi kepolisian memiliki posisi tawar yang berbeda-beda tergantung dengan sistem perpolitikan nasional di masing-masing negara. Namun di negara-negara yang tengah mengalami transisi demokrasi, umumnya mengalami problematika yang serius terkait hubungan antara institusi kepolisian dengan militer. Fenomena ini banyak ditemui di negara-negara Afrika, Asia-Pasifik, dan Amerika Selatan.     

Didalam situasi di negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi tersebut, institusi kepolisian menghadapi tantangan berupa ofensifitas otoritas militer yang menginginkan agar kepolisian berada di bawah struktur militer. Fenomena ini sendiri pernah terjadi di Indonesia dimana Polri selama puluhan tahun merupakan bagian dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang kini berubah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Buku ini banyak mengulas terkait persoalan proses dan posisi kepolisian pada perubahan politik, serta berbagai kendala yang melingkupinya. Pada bagian pertama, penulis membahas persoalan institusi kepolisian secara umum yang banyak terjadi di negara-negara berkembang yang sedang mengalami fase transisi demokrasi. Menurut Goldsmith, secara khusus menegaskan bahwa faktor tingkat kepecercayaan publik bagi institusi kepolisian sangat menentukan tingkat akseptabilitas politik lembaga tersebut dalam sistem politik yang sedang berubah.

Secara garis besar penulis membedakan posisi institusi kepolisian dalam negara otoriter dengan negara demokrasi. Didalam negara-negara otoriter, peran dan posisi lembaga kepolisian hanya menjadi alat kekuasaan pemerintah yang berkuasa. Dalam kondisi begini, biasanya militer baik secara personal maupun kelembagaan mampu mengambil peran yang lebih strategis daripada kepolisian. Bahkan pada kondisi tertentu, lembaga kepolisan hanya menjadi sub-ordinate dari kekuasaan militer. Situasi ini pernah terjadi di Indonesia semasa era Soeharto berkuasa 32 tahun.
                                                                 
Sebaliknya pada negara-negara demokrasi, posisi lembaga kepolisian bukanlah sub-ordinate dari kekuasaan militer sebagaimana yang terjadi dalam berbagai model sistem negara-negara otoriter. Dalam sistem negara-negara demokrasi, posisi lembaga kepolisian umumnya sederajat dengan militer. Militer sulit untuk berusaha mengkooptasi institusi kepolisian karena adanya pengawasan secara langsung oleh publik maupun oleh parlemen.

Mulai bagian kedua, penulis secara khusus mulai memasuki wilayah persoalan institusi kepolisian di negara kita, Polri. Berdasarkan UU No 2 Tahun 2002 Tentang Polri, UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI, sudah ada pembagian wilayah kewenangan yang jelas antara TNI dan Polri. Tugas dan wewenang Polri terbatas pada penegakan hukum dalam bingkai Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), sedangkan tugas dan wewenang TNI terkait dengan pertahanan negara.            
 
Namun perkembangan ancaman keamanan membuat dikotomi kewenangan Polri dan TNI justru menuai persoalan baru. Menurut penulis, sangatlah sulit memilah mana yang sekedar ancaman terhadap keamanan dalam negeri atau pertahanan negara. Sebagai contoh, ancaman terorisme, perdagangan manusia, dan narkoba telah melibatkan jaringan internasional. Ancamannya pun bukan sekedar keamanan dalam negeri, tetapi juga telah menyangkut pertahanan negara. Ini adalah tantangan yang perlu dicarikan jalan keluarnya kedepan sehingga bisa tercapai sinergi yang baik antara TNI dan Polri.  
                                                                                              
Bagian selanjutnya, barulah penulis membedah persoalan internal di tubuh Polri sendiri. Penulis sesungguhnya tidak menafikan pencapaian-pencapaian positif yang telah ditelurkan Polri seperti perbaikan layanan publik berupa layanan SIM Corner, SIM keliling, dan berbagai pelayanan publik yang lain. Hanya saja Polri belum mampu memperbaiki pencitraan di mata publik sebagai institusi yang bersih. Kegagalan ini menurut penulis, sedikit banyak juga dipengaruhi kinerha kehumasannya yang belum mampu membangun pencitraan yang bersifat pembuktian.           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar