Powered By Blogger

Selasa, 08 Maret 2011

Implementasi penegakan HAM di indonesia

MASALAH penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan dengan meningkatnya kesadaran demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia akibat dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta keterbukaan informasi. Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah menjadi modal sosial bagi bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan rasional.
Pada sisi lain, tuntutan akan penegakan HAM juga dipercepat oleh arus demokratisasi global yang menggejala sejak berakhirnya Perang Dingin. Runtuhnya Komunisme di Eropa Timur telah menimbulkan mitos baru tentang apa yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai "berakhirnya sejarah" (the End of History) yang ditandai oleh kemenangan akhir demokrasi liberal di seluruh dunia terhadap seluruh paham ideologi politik.
Kedua, faktor internal dan eksternal tersebut telah menjadi penyebab dari bergolaknya dinamika politik nasional yang memasukkan Indonesia ke dalam masa transisi menuju demokrasi. Masa ini dipahami oleh Guillermo O'Donnel sebagai suatu interval waktu setelah berakhirnya suatu rezim otoritarian menuju ke arah berkuasanya rezim baru yang diharapkan lebih demokratis.
Situasi transisi demokratik ini ditandai dengan ketakmenentuan akibat dari menguatnya kepentingan politik dalam menetapkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum.
Di tengah situasi seperti itulah masalah penegakan HAM mencuat di Indonesia dewasa ini. Tidak dapat dihindarkan bila di tengah situasi seperti itu aturan-aturan tentang HAM menjadi lahan pertarungan bagi kekuatan-kekuatan politik tersebut. Peralihan dari rezim Orde Baru yang dipandang otoriter dan represif dengan sendirinya bergerak ke arah ketakmenentuan yang tercermin di dalam arah penegakan HAM di Indonesia.

***

KITA tetap harus melihat masalah penegakan HAM sebagai agenda mendasar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sebagai bangsa yang lahir dan tumbuh di atas semangat kemerdekaan, kita harus melihat HAM sebagai perwujudan dari komitmen kebangsaan dan kenegaraan kita terhadap kemerdekaan. Kemerdekaan tiada lain adalah penghormatan kita terhadap persamaan derajat dan kebebasan dasar manusia untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).
Oleh karena itu, nasionalisme yang telah mendorong kita untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa adalah nasionalisme yang tidak bertujuan untuk menghancurkan atau menghilangkan bangsa lain. Tetapi, nasionalisme Indonesia yang bertujuan untuk memajukan kemanusiaan. "My nationalism is humanity," seru Mahatma Gandhi yang dipetik kembali oleh Soekarno ketika menjelaskan lima prinsip dasar kebangsaan Indonesia, Pancasila, pada tanggal 1 Juni 1945. Nasionalisme kita tiada lain adalah perwujudan komitmen kemanusiaan bangsa Indonesia.
Penegakan HAM adalah amanat Pancasila dan UUD 1945 yang semata-mata niscaya dilakukan dalam kehidupan demokrasi di Tanah Air. Karena itu pula, penegakan HAM harus semata-mata berpegang pada dasar falsafah kebangsaan kita serta konstitusi kenegaraan kita; bukan didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik sesaat atau demi kepentingan politik pihak-pihak lain.
Kenyataannya, saat ini kita seperti tengah menyaksikan situasi yang digambarkan oleh Plato dalam buku Republic melalui ucapan Thrasymachus, yang mengatakan, "the just is nothing else than the advantage of the stronger." Keadilan dan hukum tiada lain adalah yang menguntungkan bagi yang paling kuat.
Demikian pula, penegakan HAM sering kali menjadi instrumen untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dengan mendesakkannya melalui pengerahan kekuatan politik dan ekonomi, baik berupa kekuatan massa, media, maupun finansial. Dalam kondisi seperti ini, penegakan HAM cenderung tidak konsisten dan bersifat selektif pada kasus-kasus yang memberikan keuntungan secara politis atau ekonomi bagi suatu kekuatan politik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, warisan konflik pasca-Orde Baru yang menyebabkan adanya kekuatan-kekuatan politik yang mengalami represi selama rezim Orde Baru menumpahkan political retaliation melalui instrumen HAM.
Tidak ada fakta bahwa mereka yang mengalami represi Orde Baru memiliki keseragaman sikap. Sebagian kalangan dengan mudah melakukan perdamaian dengan masa lalu. Tetapi, sebagian lain menghendaki agar seluruh anasir Orde Baru atau yang terkait dengan Orde Baru dikenakan hukuman seberat-beratnya.
Kelompok garis keras di kalangan ini bahkan menghendaki agar digelar Mahkamah Rakyat untuk mengadili para pejabat Orde Baru. Tidak jelas apakah yang dimaksud dengan Mahkamah Rakyat ini, tetapi bila yang dimaksud adalah proses pengadilan di luar prosedur perundang-undangan jelas bertentangan dengan prinsip supremasi hukum.
Semangat political retaliation ini mengakibatkan penegakan HAM semata-mata diarahkan pada kasus-kasus yang memuaskan kehendak retaliasi. Kasus-kasus yang tidak memberikan keuntungan atau kepuasan bagi kalangan ini, diabaikan dengan berbagai alasan. Tentu saja terlalu naif bila kita mengira kalangan ini tidak memiliki agenda kekuasaan. Justru dengan inkonsistensi dalam isu penegakan HAM itu, mereka memiliki agenda yang jelas untuk menguasai sumber daya politik dan ekonomi di masa depan.
Penegakkan HAM membutuhkan aparat yang mandiri dan memiliki otoritas moral yang tinggi, sehingga penegakan hukum di Indonesia tidak tergelincir menjadi instrumen political retaliation dari pihak-pihak yang pernah mengalami represi politik pada masa lalu.
Kedua, belum mapannya lembaga-lembaga penegakan HAM yang disebabkan oleh masih tidak mandirinya lembaga tersebut dari pengaruh politik. Misalnya, kondisi Komisi Nasional HAM dewasa ini yang mengalami perseteruan internal, memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga penegakan HAM yang diharapkan memiliki kemandirian dan berada dalam posisi imparsial ternyata sarat dengan kepentingan politik.
Ada kecenderungan komposisi Komnas HAM tidak mencerminkan pluralitas sebagaimana dikehendaki oleh Paris Principle. Selain itu ada kecenderungan Komnas HAM sangat responsif terhadap kasus-kasus tertentu, tetapi lamban dalam kasus-kasus lain. Dalam banyak hal Komnas HAM pun terkesan menjadi instrumen bagi kelompok tertentu untuk mendesakkan agenda politiknya.
Ketiga, simplifikasi persoalan HAM di Indonesia. Proses transisi demokratis di Indonesia sering dibaca dengan kacamata pengalaman negara-negara lain, bahkan nyaris tanpa kritik sama sekali serta cenderung memutlakkan. Transisi menuju demokrasi selalu digambarkan dengan cara hitam-putih antara otoritarian dan demokrasi. Dalam konteks HAM, hal ini disimplifikasi dengan hanya mengadili kejahatan masa lalu yang sayangnya sering berjarak hanya pada tahun-tahun di mana militer sangat berperan.
Akibatnya, tidak jarang penegakan HAM sering terpaku pada kasus-kasus yang melibatkan militer yang dipandang sebagai kekuatan politik yang sangat bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM. Pada negara-negara di mana junta militer pernah berkuasa, hal tersebut boleh jadi benar adanya. Tetapi, dalam konteks Indonesia yang memiliki tradisi militer yang berakar pada rakyat, tuduhan pelanggaran HAM terhadap militer menjadi problematis dan kompleks karena juga melibatkan konfigurasi sosial masyarakat yang sangat erat dengan pengalaman kemiliteran yang tumbuh selama masa-masa perjuangan kemerdekaan.
Secara normatif perspektif yang menjadikan militer sebagai tertuduh utama dalam pelanggaran HAM berakar pada prinsip HAM yang memberikan tanggung jawab utama penegakan HAM pada negara, termasuk militer di dalamnya sebagai aparat negara. Perspektif ini menjadi kabur manakala disertai dengan anatomi politik, bahwa militer menjadi kekuatan yang otonom dan monolitik yang menguasai kehidupan negara. Maka militerlah yang kemudian dipandang paling bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM.
Dalam konteks Indonesia pandangan ini tampak over-simplifikasi. Sistem sosial dan politik Indonesia sama sekali tidak mendikotomikan secara dramatis antara negara dan masyarakat, sehingga negara berada dalam posisi vis-a-vis dengan masyarakat.
Pelanggaran HAM pun banyak dilakukan oleh berbagai kelompok sosial yang tidak semata-mata dapat ditimpakan kepada militer sebagai bentuk pengabaian atas tanggung jawab penegakan HAM oleh negara. Kasus konflik antara TNI dengan kelompok bersenjata di Aceh dan Papua dengan jelas memperlihatkan adanya pelanggaran HAM oleh kekuatan separatis bersenjata, tetapi dengan mudah diabaikan dan mengarahkan sepenuhnya tanggung jawab pelanggaran HAM pada TNI semata-mata. Tampak dengan jelas terjadi bias kepentingan penegakan HAM dengan agenda politik dengan sasaran utama untuk mendemoralisasi TNI.
Keempat, adanya instrumen perundang-undangan tentang HAM yang masih memberikan peluang bagi inkonsistensi penegakan hukum. Otoritas penyelidikan HAM yang dimiliki oleh Komnas HAM, misalnya, telah menjadi problem tersendiri manakala terdapat ketentuan dalam Pasal 43 Ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menentukan agar Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR RI.
Dua ketentuan tersebut ternyata telah melahirkan konflik kepentingan antara Komnas HAM yang merasa memiliki otoritas moral atas penegakan HAM dengan DPR yang sering dituduh sebagai lembaga yang sarat dengan pragmatisme politik. Situasi ini kemudian menjelma menjadi instrumentasi Komnas HAM oleh kelompok-kelompok yang tidak dapat mendesakkan kepentingan politiknya melalui agenda HAM kepada DPR.
Kelima, kesadaran hukum masyarakat menyangkut penegakan HAM pada dasarnya merupakan fundamen utama yang membangun efektivitas dan konsistensi penegakan HAM di Indonesia. Tetapi, masyarakat masih dipengaruhi oleh kecenderungan opini publik yang diciptakan media dalam mengangkat isu-isu pelanggaran HAM, sehingga tidak jarang kesadaran masyarakat justru dibentuk oleh opini publik yang diciptakan media.
Harus diakui, media adalah the fourth estate dalam kehidupan demokrasi. Tetapi, realitas media pun sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan modal dan pasar yang memungkinkan suatu media dapat bertahan hidup.
Faktanya, kesadaran masyarakat justru sering digiring dan dibentuk oleh opini publik. Akibatnya, masyarakat sering kali larut ke dalam situasi trial by the press terhadap kasus-kasus HAM yang diangkat oleh media. Tidak dapat dinafikan pula bila terdapat media-media yang cenderung bersikap partisan dalam menyoroti kasus-kasus HAM yang secara tidak langsung dapat membentuk persepsi yang tidak tepat tentang penegakan HAM.

***

SESUAI dengan Mukadimah Universal Decralation of Human Rights 1948, HAM pada dasarnya merupakan "a common standard of achievement for all peoples and all nations." Oleh karenanya, penegakan HAM sama sekali bukan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang sangat ideal bagi seluruh bangsa, melainkan menjadi standar umum yang mungkin dicapai oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa di dunia.
Pandangan seperti itu jelas menunjukkan keterbukaan HAM pada kemajemukan negara-negara dalam menegakkan HAM. Bagaimanapun penegakan HAM harus memperhitungkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara, sehingga tidak menimbulkan problem lanjutan manakala HAM tersebut dijalankan oleh negara bersangkutan.
Bahkan, pada negara-negara di mana pertama kali HAM dipromosikan, penegakan HAM senantiasa diperhitungkan dengan persoalan-persoalan lain yang tidak merugikan kepentingan nasional negara bersangkutan. Ketidaksediaan Amerika Serikat untuk mendukung hasil-hasil Konferensi Anti Rasisme di Durban, Afrika Selatan, baru-baru ini, serta sikap negara-negara Barat yang mendiamkan begitu saja serangan membabi-buta Amerika dan Inggris terhadap Afganistan yang banyak menewaskan penduduk sipil, menunjukkan bahwa penegakan HAM sering dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan nasional atau bahkan lebih pragmatis sekadar pada kepentingan ekonomi semata.
Oleh karena itu, masalah penegakan HAM di Tanah Air pun tidak seharusnya menjadikan kita bertikai dengan saudara sebangsa serta merasa inferior di muka masyarakat internasional.
Agenda penegakan HAM di Indonesia semata-mata harus didasarkan pada semangat kemerdekaan nasional kita yang menghendaki kesederajatan dan kebebasan seluruh manusia dan seluruh bangsa.
Dalam konteks itu, penegakan HAM sepatutnya memperhitungkan kondisi internal dalam negeri, keterbatasan sumber daya serta berbagai kepentingan nasional lainnya. Jelas tidak perlu ada sikap yang menganggap universalitas HAM sebagai kemutlakan yang secara otomatis berlaku dalam kehidupan nasional kita. Sebaliknya, tidak perlu pula resistensi yang berlebihan terhadap tuntutan penegakan HAM di Indonesia.
Proporsi yang kita kehendaki adalah agar penegakan HAM tidak menjadi instrumen pemukul bagi bangsa kita. Kita menghendaki agar penegakan HAM benar-benar didasarkan pada kehendak untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi siapa saja tanpa terkecuali. *