Powered By Blogger

Rabu, 18 Mei 2011

Demokrasi berdasarkan wewenang dan hubungan antara alat kelengkapan negara

PENDAHULUAN
Istilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
ISI PEMBAHASAN
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme 
sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.
“Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time.”
Winston Churchill (Hansard, November 11, 1947).

 dikutip dari buku: Judul         :    Polri, Politik, dan Korupsi   
                                Penulis     :    Muradi
                               Terbit        :    Juli 2010
                                Penerbit   :     PSKN UNPAD

Pada dasarnya, di banyak negara institusi kepolisian memiliki posisi tawar yang berbeda-beda tergantung dengan sistem perpolitikan nasional di masing-masing negara. Namun di negara-negara yang tengah mengalami transisi demokrasi, umumnya mengalami problematika yang serius terkait hubungan antara institusi kepolisian dengan militer. Fenomena ini banyak ditemui di negara-negara Afrika, Asia-Pasifik, dan Amerika Selatan.     

Didalam situasi di negara-negara yang sedang mengalami transisi demokrasi tersebut, institusi kepolisian menghadapi tantangan berupa ofensifitas otoritas militer yang menginginkan agar kepolisian berada di bawah struktur militer. Fenomena ini sendiri pernah terjadi di Indonesia dimana Polri selama puluhan tahun merupakan bagian dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang kini berubah nama menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Buku ini banyak mengulas terkait persoalan proses dan posisi kepolisian pada perubahan politik, serta berbagai kendala yang melingkupinya. Pada bagian pertama, penulis membahas persoalan institusi kepolisian secara umum yang banyak terjadi di negara-negara berkembang yang sedang mengalami fase transisi demokrasi. Menurut Goldsmith, secara khusus menegaskan bahwa faktor tingkat kepecercayaan publik bagi institusi kepolisian sangat menentukan tingkat akseptabilitas politik lembaga tersebut dalam sistem politik yang sedang berubah.

Secara garis besar penulis membedakan posisi institusi kepolisian dalam negara otoriter dengan negara demokrasi. Didalam negara-negara otoriter, peran dan posisi lembaga kepolisian hanya menjadi alat kekuasaan pemerintah yang berkuasa. Dalam kondisi begini, biasanya militer baik secara personal maupun kelembagaan mampu mengambil peran yang lebih strategis daripada kepolisian. Bahkan pada kondisi tertentu, lembaga kepolisan hanya menjadi sub-ordinate dari kekuasaan militer. Situasi ini pernah terjadi di Indonesia semasa era Soeharto berkuasa 32 tahun.
                                                                 
Sebaliknya pada negara-negara demokrasi, posisi lembaga kepolisian bukanlah sub-ordinate dari kekuasaan militer sebagaimana yang terjadi dalam berbagai model sistem negara-negara otoriter. Dalam sistem negara-negara demokrasi, posisi lembaga kepolisian umumnya sederajat dengan militer. Militer sulit untuk berusaha mengkooptasi institusi kepolisian karena adanya pengawasan secara langsung oleh publik maupun oleh parlemen.

Mulai bagian kedua, penulis secara khusus mulai memasuki wilayah persoalan institusi kepolisian di negara kita, Polri. Berdasarkan UU No 2 Tahun 2002 Tentang Polri, UU No 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI, sudah ada pembagian wilayah kewenangan yang jelas antara TNI dan Polri. Tugas dan wewenang Polri terbatas pada penegakan hukum dalam bingkai Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), sedangkan tugas dan wewenang TNI terkait dengan pertahanan negara.            
 
Namun perkembangan ancaman keamanan membuat dikotomi kewenangan Polri dan TNI justru menuai persoalan baru. Menurut penulis, sangatlah sulit memilah mana yang sekedar ancaman terhadap keamanan dalam negeri atau pertahanan negara. Sebagai contoh, ancaman terorisme, perdagangan manusia, dan narkoba telah melibatkan jaringan internasional. Ancamannya pun bukan sekedar keamanan dalam negeri, tetapi juga telah menyangkut pertahanan negara. Ini adalah tantangan yang perlu dicarikan jalan keluarnya kedepan sehingga bisa tercapai sinergi yang baik antara TNI dan Polri.  
                                                                                              
Bagian selanjutnya, barulah penulis membedah persoalan internal di tubuh Polri sendiri. Penulis sesungguhnya tidak menafikan pencapaian-pencapaian positif yang telah ditelurkan Polri seperti perbaikan layanan publik berupa layanan SIM Corner, SIM keliling, dan berbagai pelayanan publik yang lain. Hanya saja Polri belum mampu memperbaiki pencitraan di mata publik sebagai institusi yang bersih. Kegagalan ini menurut penulis, sedikit banyak juga dipengaruhi kinerha kehumasannya yang belum mampu membangun pencitraan yang bersifat pembuktian.           

Jenis-jenis Demokrasi bersdasarkan Prinsip Idelogy

Demokrasi terbagi dalam dua jenis: demokrasi bersifat langsung dan demokrasi bersifat representatip.

Demokrasi bersifat langsung / Direct Demokrasi.demokrasi langsung juga dikenal sebagai demokrasi bersih. Disinilah rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera didalam satu pertemuan.

Jenis demokrasi ini dapat dipraktekkan hanya dalam kota kecil dan komunitas yang secara relatip belum berkembang,
dimana secara fisik memungkinkan untuk seluruh electorate untuk bermusyawarah dalam satu tempat, walaupun permasalahan pemerintahan tersebut bersifat kecil.

Demokrasi langsung berkembang di Negara kecil Yunani kuno dan Roma. Demokrasi ini tidak dapat dilaksanakan didalam masyarakat yang komplek dan Negara yang besar. demokrasi murni yang masih bisa diambil contoh terdapat diwilayah Switzerland.

Mengubah bentuk demokrasi murni ini masih berlaku di Switzerland dan beberapa Negara yang didalamnya terdapat bentuk referendum dan inisiatip. Dibeberapa Negara sangat memungkinkan bagi rakyat untuk memulai dan mengadopsi hukum, bahkan untuk mengamandemengkan konstitusional dan menetapkan permasalahan public politik secara langsung tampa campur tangan representative.

Demokrasi bersifat representatip / Representative Demokrasi.
Didalam Negara yang besar dan modern demokrasi tidak bisa berjalan sukses. Oleh karena itu, untuk menanggulangi masalah ini diperlukan sistem demokrasi secara representatip. Para representatip inilah yang akan menjalankan atau menyampaikan semua aspirasi rakyat didalam pertemuan. Dimana mereka dipilih oleh rakyat dan berkemungkinan berpihak kepada rakyat. ( Garner ).

Sistem ini berbasis atas ide, dimana rakyat tidak secara langsung hadir dalam menyampaikan aspirasi mereka, namun mereka menyampaikan atau menyarankan saran mereka melaui wakil atau representatip. Bagaimanapun, didalam bentuk pemerintahan ini wewenang disangka benar terletak ditangan rakyat, akan tetapi semuanya dipraktekkan oleh para representatip.

Setiap prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam suatu konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi. Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai tolerensi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

Pilar Demokrasi

Pilar demokrasi merupakan batang tubuh atau penopang dari  demokrasi tersebut dimana di dalamnya mengandunf aspek-aspek demokarasi itu yaitu: apek filosofis (ide, norma dan prinsip), aspek sosiologis (sistem, sosial dan politik) dan aspek psikologis (wawasam, sikap dan perilaku).
Pilar Demokrasi tersabut terdiri dari :
  1. Kedaulatan Rakyat 
  2. Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan yang diperintah
  3. Kekuasaan Mayoritas
  4. Hak-hak Minoritas
  5. Jaminan Hak Asasi Manusia
  6. Pemilihan yang Bebas dan Jujur
  7. Persamaan di Depan Hukum
  8. Proses Hukum yang wajar
  9. Pembatsan Pemerintahan secara Konstitusional
  10. Pluralisme sosial,ekonomi dan politik
  11. Nilai-nilai Toleransi, Pragmatisme, Kerjasama dan Mufakat 

DEMOKRASI

Demokrasi adalah bentuk politik pemerintahan di mana kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, oleh konsensus (demokrasi konsensus), dengan referendum langsung (demokrasi langsung), atau melalui wakil-wakil terpilih dari rakyat (demokrasi perwakilan). istilah berasal dari bahasa Yunani: δημοκρατία - "pemerintahan rakyat" (dēmokratía),  yang diciptakan dari δῆμος (demo) "orang" dan κράτος (Kratos) "kekuatan", di pertengahan abad ke-5-4 SM untuk menunjukkan sistem politik maka yang ada di beberapa negara-kota Yunani, terutama Athena setelah pemberontakan populer di 508 SM. Meskipun tidak ada definisi, khusus diterima secara universal, 'demokrasi'  kesetaraan dan kebebasan memiliki telah diidentifikasi sebagai karakteristik penting demokrasi sejak zaman kuno. Prinsip-prinsip ini tercermin dalam semua warga negara yang sama di depan hukum dan memiliki akses yang sama terhadap kekuasaan. Sebagai contoh, dalam demokrasi perwakilan, suara setiap bobot yang sama, tidak ada pembatasan dapat diterapkan kepada siapapun yang ingin menjadi perwakilan, dan kebebasan warganya dijamin oleh hak dilegitimasi dan kebebasan yang pada umumnya dilindungi oleh konstitusi. 
Ada beberapa jenis demokrasi, beberapa di antaranya memberikan keterwakilan yang lebih baik dan kebebasan lebih untuk warga mereka daripada yang lain. Namun, jika setiap demokrasi tidak hati-hati undangkan -. Melalui penggunaan saldo - untuk menghindari distribusi yang tidak merata kekuasaan politik, seperti pemisahan kekuasaan, maka cabang dari sistem pemerintahan dapat mengakumulasi kekuasaan, sehingga menjadi tidak demokratis.

The "kekuasaan mayoritas" sering digambarkan sebagai fitur karakteristik dari demokrasi, tetapi tanpa perlindungan pemerintahan atau konstitusional kebebasan individu, sangat mungkin bagi individu minoritas akan tertindas oleh "tirani mayoritas". Sebuah proses penting dalam demokrasi perwakilan adalah pemilihan kompetitif yang adil baik secara substansial dan prosedural. Selain itu,. Kebebasan ekspresi politik, kebebasan berbicara, dan kebebasan pers sangat penting sehingga masyarakat diinformasikan dan mampu memilih kepentingan pribadi mereka.

kedaulatan Populer adalah umum tetapi bukan subjek memotivasi universal untuk membangun demokrasi. Di beberapa negara, demokrasi didasarkan pada prinsip filosofis hak yang sama. Banyak orang menggunakan "demokrasi" sebagai singkatan untuk demokrasi liberal, yang dapat mencakup unsur-unsur tambahan seperti pluralisme politik; kesetaraan di hadapan hukum, hak untuk permohonan pejabat terpilih untuk ganti rugi, proses akibat adanya kebebasan sipil, hak asasi manusia; dan elemen masyarakat sipil di luar pemerintah.

Di Amerika Serikat, pemisahan kekuasaan sering disebut sebagai atribut pendukung, tetapi di negara-negara lain, seperti Inggris, filsafat dominan adalah kedaulatan parlemen (meskipun dalam praktek independensi peradilan umumnya dipertahankan). Dalam kasus lain, "demokrasi" adalah digunakan untuk berarti demokrasi langsung. Meskipun "demokrasi" istilah biasanya digunakan dalam konteks politik negara, prinsip-prinsip yang berlaku bagi organisasi swasta dan kelompok lainnya juga.

Demokrasi memiliki asal-usul di Yunani Kuno. Namun Kebudayaan lain secara signifikan berkontribusi pada evolusi demokrasi seperti Romawi Kuno, Eropa,dan Amerika Utara dan Selatan. Konsep demokrasi perwakilan muncul sebagian besar dari ide-ide dan lembaga-lembaga yang berkembang selama abad pertengahan Eropa dan Abad Pencerahan dan di Amerika dan Revolusi Prancis. Demokrasi. disebut sebagai "bentuk terakhir dari pemerintah" dan telah menyebar jauh di seluruh dunia. Hak untuk memilih telah diperluas dalam Yurisdiksi banyak dari waktu ke waktu dari kelompok yang relatif sempit (seperti laki-laki kaya dari kelompok etnis tertentu), dengan Selandia Baru bangsa pertama untuk memberikan hak pilih universal untuk semua warga negaranya pada tahun 1893.

Sabtu, 02 April 2011

HAK dan Kewajiban serta Tanggung Jawab Warga Negara

Hak dan Kewajiban Sebagai Warga Negara Indonesia
Berikut ini adalah beberapa contoh hak dan kewajiban kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama satu sama lain tanpa terkecuali. Persamaaan antara manusia selalu dijunjung tinggi untuk menghindari berbagai kecemburuan sosial yang dapat memicu berbagai permasalahan di kemudian hari.
Namun biasanya bagi yang memiliki banyak uang atau tajir bisa memiliki tambahan hak dan pengurangan kewajiban sebagai warga negara kesatuan republik Indonesia.
A. Contoh Hak Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum
  2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
  3. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan
  4. Setiap warga negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing yang dipercayai
  5. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran
  6. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara kesatuan Indonesia atau nkri dari serangan musuh
  7. Setiap warga negara memiliki hak sama dalam kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan sesuai undang-undang yang berlaku
B. Contoh Kewajiban Warga Negara Indonesia
  1. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara indonesia dari serangan musuh
  2. Setiap warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda)
  3. Setiap warga negara wajib mentaati serta menjunjung tinggi dasar negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali, serta dijalankan dengan sebaik-baiknya
  4. Setiap warga negara berkewajiban taat, tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara indonesia
  5. Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik

Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.

Siapa Warga Negara itu????? taNya Kenapa

 oke akan kita bahas disini.........................cekidot!!!


Warga negara merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki

                                                                               
Siapa Warga Negara Indonesia itu??????
ehm apa ya???
Ada beberapa cara sehingga orang jadi warga negara Indonesia. Bagaimana Christian Gonzales bisa dapat warga negara dan bermain untuk tim nasional sepak bola?

Secara garis besar, ada dua azas kelahiran yang digunakan untuk menentukan kewarganegaraan seseorang. Pertama, ius soli yang melihat kewarganegaraan berdasarkan tempat seseorang dilahirkan. Kedua, ius sanguinis yaitu mendasarkan kewarganegaraan karena pertalian darah.

Berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, azas yang dianut Indonesia adalah ius sanguinis, meskipun ada tiga poin yang menunjukkan adanya azas ius soli. Ketiga poin ada di pasal 4 bagian i, j, dan k. Ketiga poin itu mengutarakan kalau seorang anak yang dilahirkan di Indonesia tetapi keberadaan atau kewarganegaraan orang tuanya tidak diketahui, secara otomatis anak itu menjadi warga negara Indonesia.

Dalam undang-undang itu juga disebutkan tentang kemungkinan kewarganegaraan ganda. Jika ketentuan-ketentuan pada undang-undang menyebabkan kewarganegaraan ganda pada seorang anak, maka setelah umur 18 tahun atau setelah menikah, dia wajib memilih salah satu kewarganegaraan. Undang-undang memberikan waktu paling lambat tiga tahun bagi anak tersebut untuk memilih kewarganegaraan setelah usia 18 atau setelah menikah.

Selain berdasarkan tempat kelahiran dan hubungan darah, seseorang juga bisa mengajukan diri untuk menjadi warga negara Indonesia. Permohonan ini disebut pewarganegaraan. Syarat-syarat pewarganegaraan adalah usia 18 tahun, tinggal di Indonesia minimal 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia, mengakui Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, tidak pernah dijatuhi pidana, jika pemberian kewarganegaraan Indonesia tidak membuat orang tersebut memiliki kewarganegaraan ganda, memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap, serta membayar uang pewarganegaraan kepada kas negara. Proses pengajuan melalui kantor imigrasi. Pengabulan permohonan ditetapkan dengan keputusan presiden.

Selain proses tersebut, pewarganegaraan juga dapat diberikan kepada seseorang yang dianggap berjasa kepada Indonesia atau dengan alasan demi kepentingan negara. Pewarganegaraan ini diberikan presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Namun, pewarganegaraan ini tidak dapat dilakukan jika akhirnya membuat seseorang memiliki kewarganegaraan ganda.

Berdasarkan aturan inilah Christian Gonzales bisa bermain untuk tim nasional sepak bola. Gonzales telah memenuhi syarat karena telah merumput di Indonesia mulai tahun 2003. Debut Gonzales bersama tim nasional adalah pada pertandingan persahabatan antara Indonesia dengan Timor Leste pada 21 November 2010.

FIFA sendiri membebaskan pesepak bola untuk melakukan naturalisasi asalkan pemain tersebut belum pernah bermain untuk tim nasional suatu negara.
                                                                           
                                                                           

Selasa, 08 Maret 2011

Implementasi penegakan HAM di indonesia

MASALAH penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia. Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan dengan meningkatnya kesadaran demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia akibat dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta keterbukaan informasi. Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah menjadi modal sosial bagi bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam proses demokratisasi yang lebih matang dan rasional.
Pada sisi lain, tuntutan akan penegakan HAM juga dipercepat oleh arus demokratisasi global yang menggejala sejak berakhirnya Perang Dingin. Runtuhnya Komunisme di Eropa Timur telah menimbulkan mitos baru tentang apa yang disebut oleh Francis Fukuyama sebagai "berakhirnya sejarah" (the End of History) yang ditandai oleh kemenangan akhir demokrasi liberal di seluruh dunia terhadap seluruh paham ideologi politik.
Kedua, faktor internal dan eksternal tersebut telah menjadi penyebab dari bergolaknya dinamika politik nasional yang memasukkan Indonesia ke dalam masa transisi menuju demokrasi. Masa ini dipahami oleh Guillermo O'Donnel sebagai suatu interval waktu setelah berakhirnya suatu rezim otoritarian menuju ke arah berkuasanya rezim baru yang diharapkan lebih demokratis.
Situasi transisi demokratik ini ditandai dengan ketakmenentuan akibat dari menguatnya kepentingan politik dalam menetapkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum.
Di tengah situasi seperti itulah masalah penegakan HAM mencuat di Indonesia dewasa ini. Tidak dapat dihindarkan bila di tengah situasi seperti itu aturan-aturan tentang HAM menjadi lahan pertarungan bagi kekuatan-kekuatan politik tersebut. Peralihan dari rezim Orde Baru yang dipandang otoriter dan represif dengan sendirinya bergerak ke arah ketakmenentuan yang tercermin di dalam arah penegakan HAM di Indonesia.

***

KITA tetap harus melihat masalah penegakan HAM sebagai agenda mendasar dalam proses demokratisasi di Indonesia. Sebagai bangsa yang lahir dan tumbuh di atas semangat kemerdekaan, kita harus melihat HAM sebagai perwujudan dari komitmen kebangsaan dan kenegaraan kita terhadap kemerdekaan. Kemerdekaan tiada lain adalah penghormatan kita terhadap persamaan derajat dan kebebasan dasar manusia untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).
Oleh karena itu, nasionalisme yang telah mendorong kita untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa adalah nasionalisme yang tidak bertujuan untuk menghancurkan atau menghilangkan bangsa lain. Tetapi, nasionalisme Indonesia yang bertujuan untuk memajukan kemanusiaan. "My nationalism is humanity," seru Mahatma Gandhi yang dipetik kembali oleh Soekarno ketika menjelaskan lima prinsip dasar kebangsaan Indonesia, Pancasila, pada tanggal 1 Juni 1945. Nasionalisme kita tiada lain adalah perwujudan komitmen kemanusiaan bangsa Indonesia.
Penegakan HAM adalah amanat Pancasila dan UUD 1945 yang semata-mata niscaya dilakukan dalam kehidupan demokrasi di Tanah Air. Karena itu pula, penegakan HAM harus semata-mata berpegang pada dasar falsafah kebangsaan kita serta konstitusi kenegaraan kita; bukan didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik sesaat atau demi kepentingan politik pihak-pihak lain.
Kenyataannya, saat ini kita seperti tengah menyaksikan situasi yang digambarkan oleh Plato dalam buku Republic melalui ucapan Thrasymachus, yang mengatakan, "the just is nothing else than the advantage of the stronger." Keadilan dan hukum tiada lain adalah yang menguntungkan bagi yang paling kuat.
Demikian pula, penegakan HAM sering kali menjadi instrumen untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dengan mendesakkannya melalui pengerahan kekuatan politik dan ekonomi, baik berupa kekuatan massa, media, maupun finansial. Dalam kondisi seperti ini, penegakan HAM cenderung tidak konsisten dan bersifat selektif pada kasus-kasus yang memberikan keuntungan secara politis atau ekonomi bagi suatu kekuatan politik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, warisan konflik pasca-Orde Baru yang menyebabkan adanya kekuatan-kekuatan politik yang mengalami represi selama rezim Orde Baru menumpahkan political retaliation melalui instrumen HAM.
Tidak ada fakta bahwa mereka yang mengalami represi Orde Baru memiliki keseragaman sikap. Sebagian kalangan dengan mudah melakukan perdamaian dengan masa lalu. Tetapi, sebagian lain menghendaki agar seluruh anasir Orde Baru atau yang terkait dengan Orde Baru dikenakan hukuman seberat-beratnya.
Kelompok garis keras di kalangan ini bahkan menghendaki agar digelar Mahkamah Rakyat untuk mengadili para pejabat Orde Baru. Tidak jelas apakah yang dimaksud dengan Mahkamah Rakyat ini, tetapi bila yang dimaksud adalah proses pengadilan di luar prosedur perundang-undangan jelas bertentangan dengan prinsip supremasi hukum.
Semangat political retaliation ini mengakibatkan penegakan HAM semata-mata diarahkan pada kasus-kasus yang memuaskan kehendak retaliasi. Kasus-kasus yang tidak memberikan keuntungan atau kepuasan bagi kalangan ini, diabaikan dengan berbagai alasan. Tentu saja terlalu naif bila kita mengira kalangan ini tidak memiliki agenda kekuasaan. Justru dengan inkonsistensi dalam isu penegakan HAM itu, mereka memiliki agenda yang jelas untuk menguasai sumber daya politik dan ekonomi di masa depan.
Penegakkan HAM membutuhkan aparat yang mandiri dan memiliki otoritas moral yang tinggi, sehingga penegakan hukum di Indonesia tidak tergelincir menjadi instrumen political retaliation dari pihak-pihak yang pernah mengalami represi politik pada masa lalu.
Kedua, belum mapannya lembaga-lembaga penegakan HAM yang disebabkan oleh masih tidak mandirinya lembaga tersebut dari pengaruh politik. Misalnya, kondisi Komisi Nasional HAM dewasa ini yang mengalami perseteruan internal, memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga penegakan HAM yang diharapkan memiliki kemandirian dan berada dalam posisi imparsial ternyata sarat dengan kepentingan politik.
Ada kecenderungan komposisi Komnas HAM tidak mencerminkan pluralitas sebagaimana dikehendaki oleh Paris Principle. Selain itu ada kecenderungan Komnas HAM sangat responsif terhadap kasus-kasus tertentu, tetapi lamban dalam kasus-kasus lain. Dalam banyak hal Komnas HAM pun terkesan menjadi instrumen bagi kelompok tertentu untuk mendesakkan agenda politiknya.
Ketiga, simplifikasi persoalan HAM di Indonesia. Proses transisi demokratis di Indonesia sering dibaca dengan kacamata pengalaman negara-negara lain, bahkan nyaris tanpa kritik sama sekali serta cenderung memutlakkan. Transisi menuju demokrasi selalu digambarkan dengan cara hitam-putih antara otoritarian dan demokrasi. Dalam konteks HAM, hal ini disimplifikasi dengan hanya mengadili kejahatan masa lalu yang sayangnya sering berjarak hanya pada tahun-tahun di mana militer sangat berperan.
Akibatnya, tidak jarang penegakan HAM sering terpaku pada kasus-kasus yang melibatkan militer yang dipandang sebagai kekuatan politik yang sangat bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM. Pada negara-negara di mana junta militer pernah berkuasa, hal tersebut boleh jadi benar adanya. Tetapi, dalam konteks Indonesia yang memiliki tradisi militer yang berakar pada rakyat, tuduhan pelanggaran HAM terhadap militer menjadi problematis dan kompleks karena juga melibatkan konfigurasi sosial masyarakat yang sangat erat dengan pengalaman kemiliteran yang tumbuh selama masa-masa perjuangan kemerdekaan.
Secara normatif perspektif yang menjadikan militer sebagai tertuduh utama dalam pelanggaran HAM berakar pada prinsip HAM yang memberikan tanggung jawab utama penegakan HAM pada negara, termasuk militer di dalamnya sebagai aparat negara. Perspektif ini menjadi kabur manakala disertai dengan anatomi politik, bahwa militer menjadi kekuatan yang otonom dan monolitik yang menguasai kehidupan negara. Maka militerlah yang kemudian dipandang paling bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM.
Dalam konteks Indonesia pandangan ini tampak over-simplifikasi. Sistem sosial dan politik Indonesia sama sekali tidak mendikotomikan secara dramatis antara negara dan masyarakat, sehingga negara berada dalam posisi vis-a-vis dengan masyarakat.
Pelanggaran HAM pun banyak dilakukan oleh berbagai kelompok sosial yang tidak semata-mata dapat ditimpakan kepada militer sebagai bentuk pengabaian atas tanggung jawab penegakan HAM oleh negara. Kasus konflik antara TNI dengan kelompok bersenjata di Aceh dan Papua dengan jelas memperlihatkan adanya pelanggaran HAM oleh kekuatan separatis bersenjata, tetapi dengan mudah diabaikan dan mengarahkan sepenuhnya tanggung jawab pelanggaran HAM pada TNI semata-mata. Tampak dengan jelas terjadi bias kepentingan penegakan HAM dengan agenda politik dengan sasaran utama untuk mendemoralisasi TNI.
Keempat, adanya instrumen perundang-undangan tentang HAM yang masih memberikan peluang bagi inkonsistensi penegakan hukum. Otoritas penyelidikan HAM yang dimiliki oleh Komnas HAM, misalnya, telah menjadi problem tersendiri manakala terdapat ketentuan dalam Pasal 43 Ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menentukan agar Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR RI.
Dua ketentuan tersebut ternyata telah melahirkan konflik kepentingan antara Komnas HAM yang merasa memiliki otoritas moral atas penegakan HAM dengan DPR yang sering dituduh sebagai lembaga yang sarat dengan pragmatisme politik. Situasi ini kemudian menjelma menjadi instrumentasi Komnas HAM oleh kelompok-kelompok yang tidak dapat mendesakkan kepentingan politiknya melalui agenda HAM kepada DPR.
Kelima, kesadaran hukum masyarakat menyangkut penegakan HAM pada dasarnya merupakan fundamen utama yang membangun efektivitas dan konsistensi penegakan HAM di Indonesia. Tetapi, masyarakat masih dipengaruhi oleh kecenderungan opini publik yang diciptakan media dalam mengangkat isu-isu pelanggaran HAM, sehingga tidak jarang kesadaran masyarakat justru dibentuk oleh opini publik yang diciptakan media.
Harus diakui, media adalah the fourth estate dalam kehidupan demokrasi. Tetapi, realitas media pun sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan modal dan pasar yang memungkinkan suatu media dapat bertahan hidup.
Faktanya, kesadaran masyarakat justru sering digiring dan dibentuk oleh opini publik. Akibatnya, masyarakat sering kali larut ke dalam situasi trial by the press terhadap kasus-kasus HAM yang diangkat oleh media. Tidak dapat dinafikan pula bila terdapat media-media yang cenderung bersikap partisan dalam menyoroti kasus-kasus HAM yang secara tidak langsung dapat membentuk persepsi yang tidak tepat tentang penegakan HAM.

***

SESUAI dengan Mukadimah Universal Decralation of Human Rights 1948, HAM pada dasarnya merupakan "a common standard of achievement for all peoples and all nations." Oleh karenanya, penegakan HAM sama sekali bukan dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang sangat ideal bagi seluruh bangsa, melainkan menjadi standar umum yang mungkin dicapai oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa di dunia.
Pandangan seperti itu jelas menunjukkan keterbukaan HAM pada kemajemukan negara-negara dalam menegakkan HAM. Bagaimanapun penegakan HAM harus memperhitungkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara, sehingga tidak menimbulkan problem lanjutan manakala HAM tersebut dijalankan oleh negara bersangkutan.
Bahkan, pada negara-negara di mana pertama kali HAM dipromosikan, penegakan HAM senantiasa diperhitungkan dengan persoalan-persoalan lain yang tidak merugikan kepentingan nasional negara bersangkutan. Ketidaksediaan Amerika Serikat untuk mendukung hasil-hasil Konferensi Anti Rasisme di Durban, Afrika Selatan, baru-baru ini, serta sikap negara-negara Barat yang mendiamkan begitu saja serangan membabi-buta Amerika dan Inggris terhadap Afganistan yang banyak menewaskan penduduk sipil, menunjukkan bahwa penegakan HAM sering dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan nasional atau bahkan lebih pragmatis sekadar pada kepentingan ekonomi semata.
Oleh karena itu, masalah penegakan HAM di Tanah Air pun tidak seharusnya menjadikan kita bertikai dengan saudara sebangsa serta merasa inferior di muka masyarakat internasional.
Agenda penegakan HAM di Indonesia semata-mata harus didasarkan pada semangat kemerdekaan nasional kita yang menghendaki kesederajatan dan kebebasan seluruh manusia dan seluruh bangsa.
Dalam konteks itu, penegakan HAM sepatutnya memperhitungkan kondisi internal dalam negeri, keterbatasan sumber daya serta berbagai kepentingan nasional lainnya. Jelas tidak perlu ada sikap yang menganggap universalitas HAM sebagai kemutlakan yang secara otomatis berlaku dalam kehidupan nasional kita. Sebaliknya, tidak perlu pula resistensi yang berlebihan terhadap tuntutan penegakan HAM di Indonesia.
Proporsi yang kita kehendaki adalah agar penegakan HAM tidak menjadi instrumen pemukul bagi bangsa kita. Kita menghendaki agar penegakan HAM benar-benar didasarkan pada kehendak untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi siapa saja tanpa terkecuali. *